
Sebagai seorang advokat Sains Terbuka di Indonesia, ia menjadi pembicara tamu untuk Global Minds 2019 di KU Leuven dengan topik Penerbitan Akses Terbuka di Indonesia serta memberikan pandangan sesuai bidang keahliannya tentang apakah kebijakan riset dan publikasi di Indonesia berpihak pada keterbukaan pengetahuan. Ia menaruh minat serta aktif melakukan ragam penelitian berkaitan dengan psikoinformatika, psikologi kebijakan publik, dan tema-tema psikologi sosial pada umumnya. Meskipun keahlian spesialisnya adalah psikologi korupsi dan integritas, ia juga merupakan seorang generalis. Pada 2021, ia menulis di Koran Tempo mengenai kontroversi Tes Wawasan Kebangsaan di KPK dari sudut pandang psikologi. Tulisan-tulisannya tentang topik ini turut direpublikasi oleh situs web Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA). Di samping itu, ia juga melakukan sejumlah perbincangan edukatif dengan masyarakat mengenai psikologi korupsi. Pada 2020, ia berbicara dalam sebuah forum ilmiah internasional sebagai pembicara kunci dengan tajuk Psikologi Korupsi: Sejauh Mana Kita Telah Bergerak dalam Riset. Pada 2019, ia diundang sebagai mitra bestari Jurnal Antikorupsi INTEGRITAS oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada 2018, ia menghasilkan Gim Pengambilan Keputusan dalam konteks Corruption Game, yang terdaftar pada 2020 dalam Pencatatan Ciptaan oleh Ditjen Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM. Pada 2017, Harian Bernas pernah meliputnya sebagai seorang tokoh dalam rubrik Bernas Inspirator, serta mewawancarainya mengenai proses kejiwaan yang menghasilkan tingkah laku korupsi. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi RI) untuk topik Otentisitas yang Tidak Otentik: Pengaruh Counterfeit Self Terhadap Perilaku Koruptif (Studi Proses Psikologis Perilaku Koruptif. Pada 2015-2016, ia memperoleh hibah penelitian dari Pemerintah Indonesia (c.q. Psikolog sosial dan Associate Professor, Psikologi, BINUS University. Hal ini patut dijawab selekasnya karena akan menyangkut banyak aspek dari kebijakan perjurnalan kita.ĭukung Kemajuan Otomotif Indonesia, IPCC Gelar CEO Goes to Campus

Oleh sebab itu, saya menganggap penting bagi kita untuk mempertanyakan ulang, “Siapakah sebenarnya konsumen, dan pemangku kepentingan keseluruhan dari penelitian kita? Bagaimana sebuah ‘ customer-attentive research‘ mau didefinisikan dan diupayakan?”. Hal ini juga berdampingan, tetapi bukan bermaksud defensif, dengan kenyataan sebagian kesulitan dosen filsafat di Indonesia ‘menembus’ jurnal filsafat papan atas yang tidak sedemikian diikuti diskursusnya oleh kebanyakan dosen-dosen filsafat di Indonesia (tidak pula seperti di beberapa negara maju di mana perkumpulan dlm bidang filsafat cukup pesat berkembang).

Franz Magnis-Suseno, S.J., salah seorang guru besar etika yang paling masyur di Indonesia, mengenai bahwa dalam hal filsafat, masyarakat Indonesia lebih membutuhkan pengembangan filsafat yang ‘generalis’, seperti wawasan tentang bagaimana umumnya pemikiran Karl Marx, bukan pemikiran Marx yang sudah sampai ‘printilan’-nya. Pengalaman ketiga, adalah membaca ulasan beberapa tahun lalu di Koran Kompas oleh Prof. Tampaknya waktu itu beliau mengkontekskan paparan tersebut dalam rangka aplikabilitas riset untuk memenuhi kebutuhan riil masyarakat ASEAN. Beliau waktu itu bahkan agak ‘menantang’ audiens, siapa sajakah di antara komunitas ilmuwan maupun praktisi PIO yang hadir yang bisa mengerti dan menjelaskan ulang judul dan abstrak tersebut. Beliau memaparkan puluhan contoh artikel jurnal yang dari judul dan abstraknya sudah sangat super-spesialistik serta memuat alur mediasi dan moderasi sejumlah variabel dengan sofistikasi sangat tinggi. Halik di Auditorium Universitas Mercu Buana Jakarta saat konferensi Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi tahun 2013. Peristiwa kedua adalah paparan keynote speaker Prof Murnizam Hj. Hal ini menurut hemat saya sangatlah inspiratif.

Yang mengesankan saya adalah ungkapan beliau, bahwa meskipun sudah memiliki kiprah publikasi pada tingkat internasional, beliau masih juga menyempatkan diri untuk menulis di jurnal-jurnal ilmiah maupun majalah-majalah yang dianggap ‘kecil’ yang berbahasa Indonesia agar hal-hal yang beliau ketahui turut terjangkau oleh para dosen, mahasiswa, dan awam yang masih juga banyak membaca publikasi yang demikian. Di sini menyangkut pula persoalan bahasa. Ketua Redaksi waktu itu (sekitar 2013) menyatakan bahwa beliau punya konsen tentang bagaimana publikasi ilmiah dari orang Indonesia tetap juga dapat dinikmati oleh seluas-luasnya masyarakat Indonesia. Pertama adalah workshop Jurnal Humaniora yang saya ikuti di UGM. Perkataan customer-oriented research setidaknya membawa ingatan saya pada 3 (tiga) buah peristiwa yg pernah saya alami.
